Siswa Korban Instanisme
Oleh Ir Arissetyanto Nugroho MM *
Inkonsistensi sistem pendidikan nasional sudah dimafhumi banyak pihak. Ungkapan ganti menteri pendidikan berarti ganti sistem pendidikan - sesungguhnya merupakan olok-olok untuk memotret bagaimana sistem pendidikan disusun atas keinginan siapa yang sedang berkuasa atau memegang tampuk pemerintahan pada suatu periode tertentu.
Padahal, yang menjadi korban inkonsistensi sistem pendidikan itu adalah para murid dari taman kanak-kanak sampai sekolah menengah umum. Sedangkan yang dibingungkan adalah para orang tua siswa, termasuk para guru yang menjadi pendidik siswa secara langsung. Pengambil kebijakan dalam hal ini pejabat di Departemen Pendidikan dan anggota parlemen, tidak ikut menanggung kesulitan akibat sistem yang telah mereka putuskan.
Yang paling memprihatinkan saat ini adalah semakin lemahnya penghargaan terhadap proses belajar mengajar yang ditempuh siswa pada masing-masing jenjang pendidikan. Itulah antara lain yang tecermin dari pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan beberapa tahun terakhir.
Sebagaimana diketahui, ujian nasional adalah upaya pemerintah menetapkan standardisasi kualitas pendidikan secara nasional, sehingga tidak terjadi ketimpangan kualitas satu sekolah dengan sekolah lain dan antara satu provinsi dengan provinsi lain.
Sistem demikian boleh-boleh saja diterapkan, jika di seluruh wilayah RI telah terdapat keseragaman sarana dan prasana pendidikan, terutama fasilitas belajar mengajar dan sumber daya guru.
Dengan acuan UAN 2004 seorang siswa bisa dinyatakan tidak lulus bila tidak memenuhi persyaratan nilai kelulusan, yaitu > 4.00 (mata pelajaran Bahasa Inggris, Matematika, Bahasa Indonesia) untuk SMP dan SMA jurusan IPA. Sedangkan tahun ini standar nilai kelulusan > 4,25 untuk mata pelajaran yang sama.
Di sinilah proses belajar-mengajar tersebut tidak dihargai. Bukankah misalnya, seorang murid sekolah menengah telah menempuh mata pelajaran, antara lain, matematika, IPS, IPA, bahasa Indonesia, agama dan bahasa Inggris sejak kelas satu?
Bukankah sudah ada hasil evaluasi satu semester (enam bulan) dan tes atau ulangan pada kurun waktu tertentu, misalnya, mengikuti ujian mid semester? Segala jerih payah dalam tes-tes itu seperti menggarami lautan alias sia-sia. Karena, proses tes berjenjang itu tidak mendapat tempat, dalam menyatakan keberhasilan seorang siswa dalam jenjang pendidikan yang dijalaninya.
Belum lagi kebijakan konversi nilai dalam UAN 2004 yang jelas-jelas merampas hak siswa-siswa yang pandai. Tidakkah dengan demikian siswa telah dikorbankan demi kepentingan kekuasaan?.
Kelulusan Instan
Yang paling diuntungkan pada saat ini adalah para siswa dari kalangan keluarga berada. Sebab, dengan penilaian keberhasilan hanya dengan melihat hasil akhir melalui ujian beberapa mata pelajaran, tanpa melihat proses belajar-mengajar yang telah dilalui seorang siswa, maka siswa dari golongan berada lebih berkesempatan memacu dan menembus setiap mata pelajaran yang diujikan.
Misalnya, mengikuti bimbingan tes dan mengundang guru privat ke rumah. Belum lagi jika orang tua siswa memiliki akses informasi mengenai kemungkinan materi pelajaran yang akan diujikan secara nasional, akan amat mudah bagi mereka menerapkan strategi agar anak-anaknya berhasil menembus ujian nasional.
SMP dan SMA saat ini sedikit banyak telah berubah bentuk menjadi tempat bimbingan tes, bukan tempat menuntut ilmu, apalagi tempat membangun karakter.
Kondisi demikian jelas akan mengukuhkan bahwa pendidikan hanyalah sarana formalitas untuk mendapatkan martabat bagi seseorang, baik untuk menapaki pendidikan yang lebih tinggi atau menempati strata sosial tertentu.
Padahal, sejatinya melalui pendidikan inilah kita meletakkn dasar pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Pendidikan adalah sebuah proses belajar jangka panjang bagi setiap orang untuk mengetahui dan menemukan jati dirinya masing-masing.
Dengan pendidikan kita bisa membangun karater bangsa yang bermartabat dan mendapatkan kader-kader bangsa yang berkualitas, bukan kader bangsa yang dibentuk secara instan.
Memegang Teguh
Dalam pendidikan nasional, semestinya proses belajar itu menjadi insfrastruktur untuk mendidik siswa, bukan memaksa orang tua siswa mengatrol kemampuan anaknya masing-masing tanpa melalui proses belajar alamiah.
Boleh jadi, pola berpikir demikian dianggap kuno dengan melihat kehidupan berbangsa yang semakin lekat dengan budaya instan saat ini. Karena, segala sesuatunya harus dihasilkan dengan cepat.
Lihat saja bagaimana bangsa kita dirasuki berbagai macam instanisme seperti makanan instan dan makanan junk food yang sedikit banyak telah memacu obesitas dan kanker. Ingin memiliki apa pun tidak perlu bayar tunai, cukup dengan kredit.
Ingin cepat kaya, orang memilih jalur koruptif, ingin cepat menjadi bintang, seseorang rela menggadaikan kehormatannya kepada produser atau sutradara.
Juga jika ingin cepat bekerja di luar negeri, mereka memilih jalur ilegal walaupun merugikan diri sendiri dan merepotkan banyak pihak. Mau menjadi sarjana tetapi tidak mau kuliah, akhirnya marak gelar-gelar aspal. Smua itu bermuara pada penghargaan hasil akhir, bukan proses yang tentu lambat laun akan menghancurkan moral bangsa.
* Penulis adalah staf pengajar pada Fakultas Teknis UI dan Universitas Mercu Buana.